OTONOMI DAERAH
OTONOMI DAERAH
Indonesia kapan melaksanakan asas dekonsentrasi belum diketahui secara pasti, Pemerintah Belanda tahun 1903 disamping telah melaksanakan asas dekonsentrasi juga telah melaksanakan asas desentralisasi berdasarkan decentralisatiewet 1903 yang kemudian disempurnakan dengan Bestuurshervormingswet 1922 (Wet 6 Februari 1922 Ind. Stb. 1922 No. 216) Setelah berdirinya Negara Republik Indonesia berdasarkan Proklamasi Kemerdekaan tanggal, 17 Agustus 1945 dan tanggal, 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia ditetapkanlah Undang Undang Dasar bagi Negara Republik Indonesia yang kemudian dikenal dengan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang dapat disingkat Undang Undang Dasar 1945.
Pasal 18 Undang Undang Dasar 1945 memuat ketentuan mengenai pemerintahan di daerah dalam penjelasannya pemerintah wajib menjalankan asas dekonsentrasi dan asas desentralisasi dan tugas perbantuan, ada beberapa fase pelaksanaan asas-asas tersebut diantaranya :
~> Undang-undang No. 1 Tahun 1945 yang kemudian dikeluarkan Undang-undang No. 22 Tahun 1948. Undang-undang No. 1 Tahun 1945 mengatur tentang Kedudukan Komite Nasional Daerah, sedangkan Undang-undang No. 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah yang bersifat otonom, kedua undang-undang tersebut hanya mengatur pelaksanaan asas desentralisasi dan sebagaian asas perbantuan.
Setelah kembali kekuasaan dibawah Undang Undang Dasar Sementara Republik Indonesia Tahun 1950 mengenai pemerintahan daerah diatur dalam pasal 131 dan pasal 132 dan undang-undang organiknya baru dibentuk tahun 1957 yaitu Undang-undang No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah.
Undang-undang No. 22 Tahun 1948 dikandung maksud akan menghapus daerah-daerah administrasi, sesuai dengan ketentuan pasal 46 ayat (2) yang menentukan “Daerah-daerah administrasi yang ada pada waktu berlakunya Undang-undang ini, terus berdiri sampai dihapuskan.
Undang-undang No. 22 Tahun 1948 merubah susunan yaitu Negara Republik Indonesia menjadi Negara Federasi di bawah kekuasaan Konstitusi Republik Indonesia Serikat pemerintahan di daerah menjadi wewenang daerah-daerah bagian.
Pasal 131 ayat (2) menentukan “Kepada Daerah-daerah diberikan otonomi seluas-luasnya Untuk mengurus rumah tangganya sendiri” maka Undang-undang No. 1 Tahun 1957 menganut prinsip “Otonomi yang seluas-luasnya” dan Undang-undang No. 1 Tahun 1957 menghapus daerah-daerah administrasi sebagaimana ketentuan pasal 46 ayat (2) Undang-undang No. 22 Tahun 1948
Kemudian keluarlah Undang-undang No. 6 Tahun 1959 tentang Penyerahan Tugas-tugas Pemerintahan Pusat Dalam Bidang Pemerintahan Umum, Perbantuan Pegawai Negeri dan Penyerahan Keuangannya kepada Pemerintah Daerah yang disingkat Undang-undang tentang Penyerahan Pemerintahan Umum, yang berdasarkan pasal 15 Undang-Undang No. 6 Tahun 1959 Jo. Pasal 1 Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 1963 tanggal, 25 Maret 1963
Ditingkat pusat terjadi perubahan sistem pemerintahan sehubungan dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden tanggal, 5 Juli 1959 yang menetapkan berlakunya kembali Undang Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi negara Republik Indonesia, dengan berlakunya kembali Undang Undang Dasar 1945. maka Undang-undang No. 1 Tahun 1957 tidak sesuai lagi selanjutnya dikeluarkanlah Penetapan Presiden No. 6 Tahun 1959 (disempurnakan) tentang Pemerintahan Daerah dan Penetapan Pemerintah No. 5 Tahun 1960 (disempurnakan) tentang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Gotong Royong dan Sekretariat daerah.
Kedua Penetapan Presiden tersebut tidak mencabut Undang-undang No. 1 Tahun 1957, tetapi bersifat menyempurnakan atau menyesuaikan dengan hakekat dalam Undang Undang Dasar 1945, sehingga terjadilah keaneka ragaman pengaturan penyelenggaraan pemerintahan di daerah, diantaranya :
1. Undang-undang No. 1 Tahun 1957;
2. Penetapan Presiden No. 6 Tahun 1959 (disempurnakan);
3. Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1960;
4. Penetapan Presiden No. 5 Tahun 1960 (disempurnakan) Jo. Penetapan Presiden No. 7 Tahun 1965
Dengan keanekaragaman peraturan yang mengatur pemerintahan di daerah berakhir setelah dikeluarkan Undang-undang No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah yang berlaku sejak tanggal, 1 September 1965, prinsip-prinsip otonomi daerah tidak dinyatakan secara tegas, tetapi yang jelas yang dianut adalah prinsip otonomi daerah yang nyata dan seluas-luasnya, hal tersebut dijelaskan dalam penjelas umum Undang-undang No. 1 Tahun 1965 angka III antara lain menyebutkan :
“Tentang hak otonomi Daerah kiranya tidak perlu diragu-ragukan, bahwa Pemerintah akan terus dan konsekuen menjalankan politik desentralisasi yang kelak akan menuju ke arah tercapainya desentralisasi teritorial, yaitu meletakkan tanggung jawab teritorial riil dan seluas-luasnya dalam tangan Pemerintah Daerah, di samping menjalankan politik dekonsentrasi sebagai komplemen yang vital".
Menjalankan politik yang demikian ini berarti melanjutkan segala usaha penyerahan dan pemberian hak-hak kepada Daerah dan kepada alat Pemeritah Pusat di Daerah. Akibatnya ialah bahwa urusan-urusan yang kini masih ada dalam kekuasaan atau termasuk kewenangan Pemerintah Pusat secara berangsung-angsur harus dialihkan menjadi tugas dan kewenangan Daerah (didesentralisasi). Sudah barang tentu tindakan-tindakan penyerahan tugas wewenang kepada Daerah itu harus diimbangi dengan keuangan yang diperlukan.
Undang-undang No. 6 Tahun 1959 tetap akan merupakan pedoman dan dasar untuk menuju kearah realisasi politik desentralisasi. Dengan demikian urusan-urusan yang kini termasuk tugas wewenang Pemerintah Pusat semakin lama akan semakin banyak beralih menjadi tugas wewenang Daerah”
Dalam pasal 2 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. XXI/MPRS/1966 menentukan Untuk melaksnakan otonomi yang seluas-luasnya semua urusan diserahkan kepada daerah, berikut semua aparatur dan keuangannya, kecuali hal-hal yang bersifat nasional yang akan diatur dan ditentukan dengan undang-udang.
Undang-undang No. 18 Tahun 1965 ternyata tidak berjalan sebagaimana mestinya, hal tersebut disebabkan karena terjadinya PERISTIWA G-30-S/PKI yang menimbulkan akses diberbagai bidang, sehingga pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan di daerah menjadi tidak menentu.
Sejak saat terjadinya PERISTIWA G-30-S/ PKI penyelenggaraan pemerintahan di daerah menjadi tidak menentu. Maka dengan kembalinya ke Undang Undang Dasar 1945 dan untuk menertipkan penyelenggaraan pemerintahan di daerah berdasarkan ketentuan pasal 5 TAP MPRS No. XIX/MPRS/1966 tentang Peninjauan Kembali Produk-Produk Legislatif Negara di Luar Produk MPRS yang tidak sesuai dengan Undang Undang Dasar 1945 yang dalam konsiderannya menyatakan
“Bahwa dalam rangka pemurnian pelaksanaan Undang Undang Dasar 1945 perlu meninjau produk-produk legislatif baik yang berbentuk Penetapan-penetapan Presiden, Peraturan-peraturan Presiden, maupun yang berbentuk Undang-undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang”
Yang diberitugas untuk melakukan peninjauan kembali tersebut adalah Pemerintah bersama DPRGR dan harus selesai dalam jangka waktu dua tahun sejak dikeluarkan nya Ketetapan tersebut yaitu tanggal, 5 Juli 1966
Undang-undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah berlaku sejak tanggal 23 Juli 2974 menggantikan Undang-undang No. 18 Tahun 1965. Dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1974 mengatur :
1. pokok-pokok penyelenggaraan pemerintahan daerah otonom
2. pokok-pokok penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi tugas pemerintah pusat di daerah.
Berarti dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1974 mengatur pokok-pokok penyelenggaraan urusan pemerintahan berdasarkan asas desentralisasi, asas dekonsentrasi dan asas tugas perbantuan di daerah.
Komentar