Pengertian Keadilan Restoratif dalam Sistem Pradilan Pidana


Pengertian Keadilan Restoratif Dalam Sistem Pradilan Pidana Keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain terkait untuk bersama-sama mencari solusi yang adil dengan menekankan pemulihan pada keadaan semula, bukan pembalasan. Jadi keadilan restoratif bisa diartikan keadilan yang menitikberatkan pada tanggung jawab atau mensituasionalkan keadaan dalam peradilan pidana.

Pendapat Para Ahli Mengenai Keadilan Restoratif

1. Umbreit Keadilan restorative adalah sebuah “tanggapan terhadap tindak pidana yang pada korban yang mengizinkan korban, pelaku tindak pidana, keluarga-keluarga mereka, dan para perwakilan dari masyarakat untuk menangani kerusakan dan kerugian yang diakibatkan oleh tindak pidana

2. Dally Keadilan Restoratif disebabkan oleh tindak pidana yang harus ditunjang melalui konsep restitusi, yaitu mengupayakan untuk memulihkan kerusakan dan kerugian yang diderita oleh pra korban tindak pidana dan memfasilitasi terjadinya perdamaian

3. Tony Marshall disebabkan oleh tindak pidana” yang harus ditunjang melalui konsep restitusi, yaitu “mengupayakan untuk memulihkan kerusakan dan kerugian yang diderita oleh pra korban tindak pidana dan memfasilitasi terjadinya perdamaian

4. Wright mengatakan tujuan utama dari keadilan restoratif adalah pemulihan, sedangkan tujuan kedua adalah ganti rugi. Hal ini berarti bahwa proses penanggulangan tindak pidana melalui pendekatan restoratif adalah suatu proses penyelesaian tindak pidana, yang bertujuan untuk memulihkan keadaan yang di dalamnya termasuk ganti rugi terhadap korban melalui cara-cara tertentu yang disepakati oleh para pihak yang terlibat di dalamnya.

5. Menurut UNODC bahwa yang dimaksud dengan keadilan restoratif adalah pendekatan untuk memecahkan masalah, dalam berbagai bentuknya, melibatkan korban, pelaku, jaringan sosial mereka, badan-badan peradilan dan masyarakat. Program keadilan restoratif didasarkan pada prinsip dasar bahwa perilaku kriminal tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga melukai korban dan masyarakat. Setiap upaya untuk mengatasi konsekuensi dari perilaku kriminal harus, bila memungkinkan, melibatkan pelaku serta pihak-pihak yang terluka.

6. Clifford Dorn seorang sarjana terkemuka dari gerakan keadilan restoratif telah mendefinisikan keadilan restoratif sebagai filosofi keadilan menekankan pentingnya dan keterkaitan pelaku, korban, masyarakat, dan pemerintah dalam kasus-kasus kejahatan dan kenakalan remaja.

7. Menurut Centre for Justice & Reconciliation (CJR) bahwa : restorative justice adalah teori keadilan yang menekankan memperbaiki kerugian yang disebabkan oleh perilaku kriminal. Hal ini paling baik dilakukan ketika para pihak bersamasama secara sadar bertemu untuk memutuskan bagaimana untuk melakukan hal ini. Hal ini dapat menyebabkan transformasi hubungan antar masyarakat.

8. Cornier suatu pendekatan untuk menegakkan keadilan yang difokuskan pada perbaikan atau pemulihan penderitaan yang ditimbulkan oleh kejahatan. Cornier juga mengatakan bahwa dalam keadilan restoratif ini mekanisme untuk meminta pertanggungjawaban pelaku dilakukan dengan memberikan

Keadilan restoratif, dapat dilaksanakan melalui :

1. Mediasi korban dengan pelanggar

2. Musyawarah kelompok keluarga

3. Pelayanan di masyarakat yang bersifat pemulihan baik bagi korban maupun pelaku.

SIFAT DAN IMPLEMENTASI MENGENAI KEADILAN RESTORATIF DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA SERTA CONTOH KASUS YANG BERKAITAN A. IMPLEMENTASI KEADILAN RESTORATIF DALAM SISTEM PIDANA

Di dalam proses peradilan pidana konvensional dikenal adanya restitusi atau ganti rugi terhadap korban, sedangkan restorasi memiliki makna yang lebih luas. Restorasi meliputi pemulihan hubungan antara pihak korban dan pelaku. Pemulihan hubungan ini bisa didasarkan atas kesepakatan bersama antara korban dan pelaku. Misalnya apabila telah terjadi perdamaian antara pelaku dan korban, dan sang korban telah memaafkan sang pelaku, maka hal tersebut tidak akan bisa mempengaruhi kewenangan penegak hukum untuk terus meneruskan perkara tersebut ke ranah pidana yang nantinya berujung pada pemidanaan sang pelaku pidana Proses pidana konvensional hanya menjadikan korban nantinya sebagai saksi dalam tingkat persidangan yang tidak banyak mempengaruhi putusan pemidanaan, tugas penuntutan tetap diberikan terhadap Jaksa yang hanya menerima berkas-berkas penyidikan untuk selanjutnya diolah menjadi dasar tuntutan pemidanaan, tanpa mengetahui dan mengerti kondisi permasalahan tersebut secara riil, dan sang pelaku berada di kursi pesakitan siap untuk menerima pidana yang akan dijatuhkan kepadanya. Sedangkan proses restorative justice pada dasarnya dilakukan melalui diskresi (kebijaksanaan) dan diversi ini, merupakan upaya pengalihan dari proses peradilan pidana ke luar proses formal untuk diselesaikan secara musyawarah Sebagai suatu bentuk pengganti sanksi, pihak pelaku dapat menawarkan kompensasi yang dirundingkan atau disepakati dengan pihak korban. Dengan demikian, keadilan menjadi buah dari kesepakatan bersama antar para pihak sendiri, yaitu pihak korban dan pelaku, bukan berdasarkan kalkulasi jaksa dan putusan hakim.


Sebelumnya perlu dikemukakan beberapa alasan bagi dilakukannya penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan pidana sebagai berikut :

1. Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk kategori delik aduan, baik aduan yang bersifat absolut maupun aduan yang bersifat relatif.

2. Pelanggaran hukum pidana tersebut memiliki pidana denda sebagai ancaman pidana dan pelanggar telah membayar denda tersebut (Pasal 80 KUHP).

3. Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk kategori pelanggaran, bukan kejahatan, yang hanya diancam dengan pidana denda.

4. Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk tindak pidana di bidang hukum administrasi yang menempatkan sanksi pidana sebagai ultimum remedium.

5. Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk kategori ringan atau serba ringan dan aparat penegak hukum menggunakan wewenangnya untuk melakukan diskresi.

6. Pelanggaran hukum pidana biasa yang dihentikan atau tidak diproses ke pengadilan (deponir) oleh Jaksa Agung sesuai dengan wewenang hukum yang dimilikinya.

7. Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk kategori pelanggaran hukum pidana adat yang diselesaikan melalui lembaga adat.


Di Indonesia pendekatan keadilan restoratif meyangkut 2 pelaku utama penegak hukum yang ada, yaitu :

1. Lembaga Musyawarah atau Lembaga Adat Masyarakat Indonesia menganggap fungsionalisasi lembaga musyawarah sebagai bagian dari mekanisme yang dipilih untuk menyelesaian perkara pidana. Musyawarah baik yang diselenggarakan oleh pelaku dan korban sendiri, atau dengan melibatkan institusi kepolisian atau kejaksaan, atau dengan melalui lembaga adat memperlihatkan pola pikir masyarakat dalam melihat suatu permasalahan yang muncul.

2. Lembaga Hukum Formal atau Lembaga Penegak Hukum Polisi melalui diskresi yang dimilikinya, Jaksa melalui opportunitas-nya serta hakim melalui kebebasannya. Terkait dengan Kepolisian, sebagai elemen awal dalam sistem peradilan pidana Indonesia, maka dapat disebutkan bahwa dalam Naskah Akademis mengenai Court Dispute Resolution dari Mahkamah Agung Republik Indonesia pada tahun 2003, dalam salah satu kesimpulan terakhirnya antara lain disebutkan bahwa mediasi sebagai salah satu bentuk, seyogyanya bersifat wajib untuk perkara kecil baik perdata maupun pidana. Itulah yang menjadikan penanganan masalah secara alternatif ini relevan untuk dikaitkan dengan proses penegakan hukum Polri, khususnya menyangkut perkara pidana yang ringan.


 PRINSIP PRINSIP KEADILAN RESTORATIF

a. Prinsip Penyelesaian yang Adil (Due Process) Dalam setiap sistem peradilan pidana di seluruh Negara Proses peradilan (due process) haruslah dianggap sebagai bentuk perlindungan untuk member keseimbangan bagi kekuasaan Negara untuk menahan, menuntut, dan melaksanakan hukuman dari suatu putusan penghukuman. Dalam implementasinya, mekanisme proses pendekatan restoratif menghendaki adanya keinginan untuk tetap member perlindungan bagi tersangka yang terkait dengan due process. Akan tetapi, karena dalam proses restorasi mengharuskan adanya pengakuan bersalah terlebih dahulu maka hal ini menimbulkan pertanyaan mengeai sampai sejauh mana persetujuan yang diberitahukan (informed consent) dan pelepasan hak suka rela (wiver of rights) dapat dipergunakan sebagai awal penyelesaian yang adil

b. Perlindungan yang Setara Dalam proses penyelesaian tindak pidana melalui pendekatan restorative keadilan harus timbul dari suatu proses saling memahami akan makna dan tujuan keadilan itu, tanpa memandang suku, jenis kelamin, agama, asal bangsa dan kedudukan sosial lainnya.

c. Hak-Hak Korban Dalam penyelesaian masalah melalui pendekatan restoratif kepentingan yang hakiki dari korban sering terabaikan dan kalaupun itu ada hanya sekedar pemenuhan sistem administrasi atau manajemen peradilan pidana.25 Menurut peneliti, bahwa pengakuan dalam pemberian kesempatan untuk member penjelasan atau ketarangan yang berhubungan dengan kejadian yang dialami korban dalam proses persidangan belum mencerminkan adanya kedudukan yang sama di dalam hukum. Agar kedudukan hukum korban dapat menjadi setara dalam proses penyelesaian maka kepada korban harus juga diberikan hak-hak untuk memperoleh ganti rugi yang memadai atas derita yang dialaminya.

d. Proporsionalitas Gagasan fairness di dalam sistem restoratif Dalam peradilan pidana pada umumnya, proporsionalitas dianggap telah terpenuhi bila telah memenuhi suatu perasaan keadilan retributive (keseimbangan timbale balik antara punish dan reward), sedangkan dalam pendekatan restoratif dapat memberlakukan sanksi-sanksi yang tidak sebanding terhadap pelanggar yang melakukan pelanggaran yang sama.

e. Praduga Tak Bersalah





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Adagium Hukum Terkenal yang Wajib Dipahami Anak Hukum

Struktur Lembaga Negara Sebelum dan Sesudah Amandemen UUD 1945

KUHPerdata [KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA]