Pengertian, Tujuan, Sejarah Pemilu
1. Pengertian dan Tujuan Pemilu
Pengertian Pemilu Menurut Para Ahli
a. Ali Moertopo
Pengertian pemilu menurut Ali Moertopo adalah sarana yang tersedia bagi rakyat untuk menjalankan kedaulatannya sesuai engan azas yang bermaktub dalam Pembukaan UUD 1945.
b. Suryo Untoro
Pengertian pemilu menurut Suryo Untoro adalah suatu pemilihan yang dilakukan oleh warga negara Indonesia yang memiliki hak pilih untuk memilih wakil-wakilnya yang duduk dalam badan perwakilan rakyat.
c. Ramlan
Pengertian pemilu menurut Ramlan adalah mekanisme penyeleksian dan pendelegasian atau pencerahan kedaulatan kepaa orang atau parta yang dipercayai.
d. Morissan (2005:17)
Pengertian pemilu menurut Morissan adalah cara atau sarana untuk mengetahui keinginan rakyat mengenai arah dan kebijakan negara kedepan. Paling tidak ada tiga macam tujuan pemilihan umum, adalah:
->Sangat mungkin ada peralihan pemerintahan secara aman dan tertib.
->Untuk melakukan kedaulatan rakyat dalam rangka melakukan hak asasi warga Negara
e. Harris G
Pengertian pemilu menurut Harris G adalah Elections are the accostions when citizens choose their officials and decide, what they want the government to do, and these decisions citizens determine what rights they want to have and keep.
f. Wikipedia
Pengertian pemilu menurut Wikipedia adalah proses memilih orang untuk mengisi jabatan-jabatan politik tertentu.
g. KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia)
Pengertian pemilu menurut KBBI adalah pemilihan yang dilakukan serentak oleh seluruh rakyat suatu negara (untuk memilih wakil rayat dan sebagainya)
h. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 pasal 1 ayat (1)
Pengertian pemilu menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 pasal 1 ayat adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Tujuan Pemilihan Umum (Pemilu)
Tujuan dari pemilu adalah sebagai perwujudan kedaulatan rakyat untuk menghasilkan pemerintahan negara yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Ada dua pemilu yaitu pemilu legislatif dan pemilu presiden dan wakil presiden.
Pemilu legislatif dilaksanakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Sedangkan pemilu presiden dan wakil presiden dilaksanakan untuk memilih pasangan presiden dan wakil presiden.
Menurut Prihatmoko (2003:19) Pemilihan Umum didalam pelaksanaannya mempunyai tiga tujuan, yaitu:
1. Sebagai sistem kerja untuk menyeleksi para pemimpin pemerintahan dan alternatif kebijakan umum (public policy)
2. Pemilu adalah sarana untuk pemindahan konflik kepentingan dari masyarakat kepada badan badan perwakilan rakyat melewati wakil wakil yang sudah dipilih atau partai yang memenangkan kursi sehingga integrasi masyarakat tetap terjamin
3. Pemilu sebagai sarana memobilisasi, penggerak atau penggalang dukungan rakyat kepada Negara dan pemerintahan dengan jalan ikut sera dalam proses politik.
Sedangkan tujuan pemilu dalam pelaksanaannya yang berdasarkan Undang-Undang No.8 Tahun 2012 pasal 3 yaitu pemilu diadakan untuk memilih anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
2. Sejarah Pemilu Di Indonesia
1. Pemilu Di Masa Orde Lama
Hingga saat ini, sejarah pemilu di Indonesia menjadi bagian dari sejarah pemilu di dunia dengan mengadakan pemilu sebanyak sebelas kali, dengan pemilu pertama diadakan pada zaman Presiden Soekarno pada tahun 1955, ketika itu bangsa Indonesia baru saja merayakan 10 tahun kemerdekaannya. Pemilu pada masa orde lama tersebut sekaligus menjadi satu – satunya pemilu yang diselenggarakan pada pemerintahan Presiden Soekarno. Sekitar tiga bulan setelah kemerdekaan, pemerintah saat itu sudah menyatakan keinginan untuk menyelenggarakan pemilu pada tahun 1946. Di zaman sesudah kemerdekaan, Indonesia menganut sistem multi partai yang menghasilkan 25 partai politik, yang ditandai dengan keluarnya Maklumat Wakil Presiden no.X tanggal 16 Oktober 1945 dan Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945. Maklumat Wakil Presiden menyebutkan bahwa pemilihan umum untuk pemilihan anggota DPR dan MPR akan diselenggarakan pada Januari 1946, tetapi pada kenyataannya Pemilu baru berlangsung pada tahun 1955 dan tidak sesuai dengan tujuan dari maklumat terdahulu.
Penyelenggaraan pemilu justru diadakan sebanyak dua kali, yang pertama adalah 29 September 1955 untuk pemilihan anggota – anggota DPR dan pada 15 Desember 1955 untuk pemilihan anggota Dewan Konstituante. Penyebab keterlambatan dan perubahan penyelenggaraan pemilu tersebut disebabkan karena kendala dari dalam dan luar negeri. Kendala dari dalam negeri berasal dari ketidaksiapan pemerintah untuk menyelenggarakan pemilu selama tiga bulan setelah kemerdekaan. Mempersiapkan perangkat dan kelengkapan untuk penyelenggaraan pemilu pada masa itu membutuhkan waktu. Sedangkan dari luar, Indonesia juga mendapatkan tekanan berupa serbuan dari kekuatan asing yang masih membuat rakyat terbagi fokus dan tenaganya.
Walaupun pemilu pada masa orde lama ini mengalami sejumlah hambatan, tetap ada keinginan kuat dari pemerintah untuk menyelenggarakan pemilu. Hal ini dibuktikan dengan pembentukan UU no. 27 tahun 1948 tentang Pemilu yang kemudian mengalami perubahan dengan UU no. 12 Tahun 1949 mengenai Pemilu. Dalam UU tersebut mengamanatkan bahwa pemilu yang akan dilangsungkan dilakukan secara bertingkat atau tidak langsung untuk menghindari kekacauan akibat masih banyak rakyat yang buta huruf pada saat itu.
Kemudian pada pertengahan tahun 1950, Mohammad Natsir dari Partai Masyumi menjadi Perdana Menteri sementara, pemerintah memutuskan untuk menjadikan pemilu pada masa orde lama sebagai program bagi kabinetnya. Sejak itulah pembahasan mengenai UU Pemilu mulai kembali dilakukan oleh Panitia Sahardjo dari Kantor Panitia Pemilihan Pusat lalu dilanjutkan ke Parlemen. Pada masa itu, Indonesia telah kembali menjadi negara kesatuan setelah sebelumnya menjadi Republik Indonesia Serikat pada 1949.
Pembahasan mengenai RUU Pemilu kemudian dilanjutkan setelah bubarnya Kabinet Natsir pada enam bulan kemudian. Pada masa pemerintahan Sukiman Wirjosandjojo, yang juga berasal dari Masyumi, pemerintah berupaya menyelenggarakan pemilu berdasarkan UUDS 1950 yang menyatakan bahwa anggota DPR dipilih rakyat melalui pemilihan umum. Akan tetapi, zaman ini pun tidak berhasil menuntaskan pembahasan RUU tersebut. UU Pemilu baru selesai dibahas oleh parlemen di masa pemerintahan Wilopo dari Partai PNI di tahun 1953, dan melahirkan UU no. 7 tahun 1953 tentang Pemilu. UU ini kemudian menjadi dasar hukum dari Pemilu 1955 yang dilakukan secara langsung, umum, bebas dan rahasia.
Pemilu 1955 adalah pemilu pada masa orde lama yang berdasarkan demokrasi liberal, dan ada peningkatan jumlah partai politik menjadi 29 partai dan juga ada peserta perorangan. Sejumlah 260 kursi diperebutkan untuk posisi di DPR dan 520 kursi untuk posisi di Konstituante ditambah 14 orang wakil golongan minoritas yang diangkat oleh pemerintah.
Peserta dan Hasil Pemilu
Pemilu pada masa Orde Lama yang dilakukan pada 29 September 1955 menghasilkan jumlah kursi yang didapatkan para wakil partai sebagai berikut:
Partai Nasional Indonesia (PNI) sebanyak 57 kursi
Masyumi sebanyak 57 kursi
Nadhlatul Ulama sebanyak 45 kursi
Partai Komunis Indonesia (PKI) sebanyak 39 kursi
Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) sebanyak 8 kursi
Partai Kristen Indonesia (Parkindo) sebanyak 8 kursi
Partai Katolik 6 kursi
Partai Sosialis Indonesia (PSII) sebanyak 6 kursi
Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) 4 kursi
Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (Perti) 4 kursi
Partai Rakyat Nasional (PRN) 2 kursi
Partai Buruh 2 kursi
Gerakan Pembela Pancasila (GPPS) 2 kursi
Partai Rakyat Indonesia (PRI) 2 kursi
Persatuan Pegawai Polisi RI (P3RI) 2 kursi
Murba sebanyak 2 kursi
Baperki sebanyak 1 kursi
Persatuan Indonesia Raya (PIR) Wongsonegoro 1 kursi
Grinda 1 kursi
Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia (Permai) 1 kursi
Persatuan Dayak (PD) 1 kursi
PIR Hazairin 1 kursi.
Partai Persatuan Tarikh Islam 1 kursi
Partai Republik Indonesia Merdeka (PRIM) 1 kursi
Angkatan Comunis Muda (Acoma) 1 kursi
Sodjono Prewiriosoedarso 1 kursi.
Ketika diberlakukan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959, sistem kepartaian Indonesia disederhanakan dengan Perpres no. 7 tahun 1959 dan Perpres no. 13 tahun 1960 yang isinya mengatur mengenai pengakuan, pengawasan dan juga pembubaran partai. Pada tanggal 14 April 1961 diumumkan bahwa hanya 10 partai yang mendapatkan pengakuan dari pemerintah yaitu partai PNI, NU, PKI, PSII, PARKINDO, Partai Katholik, PERTI MURBA dan PARTINDO.
2. Pemilu Orde Baru
Pemilu 1971 merupakan pemilu kedua yang diselenggarakan bangsa Indonesia. Pemilu 1971 dilaksanakan pada pemerintahan Orde Baru, tepatnya 5 tahun setelah pemerintahan ini berkuasa. Pasca pemerintahan Presiden Soekarno, MPRS menetapkan Soeharto sebagai Pejabat Presiden pada 12 Maret 1967 dan tanggal 27 Maret 1968.
Selama 32 tahun Presiden, Soeharto memimpin bangsa Indonesia, telah terjadi enam kali penye-lenggaraan Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD Tingkat I dan DPRD Tingkat II. Pada era ini Presiden dipilih oleh MPR.
Kali ini, sistem Pemilu 1971 menganut sistem perwakilan berimbang (proporsional) dengan sistem stelsel daftar, artinya besarnya kekuatan perwakilan organisasi dalam DPR dan DPRD, berimbang dengan besarnya dukungan pemilih karena pemilih memberikan su-aranya kepada Organisasi Peserta Pemilu.
Pemilu 1971 dilaksanakan dengan asas langsung, umum, bebas, dan rahasia (LUBER). Langsung, artinya bahwa pemilih langsung memberikan suaranya menurut hati nura-ninya, tanpa perantara, dan tanpa tingkatan. Sedangkan umum, artinya semua warga negara yang telah memenuhi persyaratan minimal dalam usia, mempunyai hak memilih dan dipilih.
Selanjutnya, ada asas bebas, artinya bahwa setiap pemilih bebas menentukan pilihannya menurut hati nura-ninya, tanpa ada pengaruh, tekanan, paksaan dari siapapun dan dengan cara apapun. Yang terakhir, rahasia artinya bahwa pemilih dalam memberikan suara dijamin tidak akan diketahui oleh siapapun dan dengan cara apapun mengenai siapa yang dipilihnya.
3. Pemilu Orde Reformasi
Pemilu 1999 berdasarkan pada Tap MPR No. XV/MPR/1998. UU No. 3 tahun 1999 tentang pemilu. UU No. 4 tahun 1999 tentang susunan dan kedudukan MPR, DPR, dan DPRD.
Setelah Presiden Soeharto dilengserkan dari kekuasaannya pada tanggal 21 Mei 1998 jabatan presiden digantikan oleh Wakil Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie. Atas desakan publik, Pemilu yang baru atau dipercepat segera dilaksanakan, sehingga hasil-hasil Pemilu 1997 segera diganti. Kemudian ternyata bahwa Pemilu dilaksanakan pada 7 Juni 1999, atau 13 bulan masa kekuasaan Habibie. Pada saat itu untuk sebagian alasan diadakannya Pemilu adalah untuk memperoleh pengakuan atau kepercayaan dari publik, termasuk dunia internasional, karena pemerintahan dan lembaga-lembaga lain yang merupakan produk Pemilu 1997 sudah dianggap tidak dipercaya. Hal ini kemudian dilanjutkan dengan penyelenggaraan Sidang Umum MPR untuk memilih presiden dan wakil presiden yang baru.
Ini berarti bahwa dengan pemilu dipercepat, yang terjadi bukan hanya bakal digantinya keanggotaan DPR dan MPR sebelum selesai masa kerjanya, tetapi Presiden Habibie sendiri memangkas masa jabatannya yang seharusnya berlangsung sampai tahun 2003, suatu kebijakan dari seorang presiden yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Sebelum menyelenggarakan Pemilu yang dipercepat itu, pemerintah mengajukan RUU tentang Partai Politik, RUU tentang Pemilu dan RUU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Ketiga draft UU ini disiapkan oleh sebuah tim Depdagri, yang disebut Tim 7, yang diketuai oleh Prof. Dr. M. Ryaas Rasyid (Rektor IIP Depdagri, Jakarta).
Setelah RUU disetujui DPR dan disahkan menjadi UU, presiden membentuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang anggota-anggotanya adalah wakil dari partai politik dan wakil dari pemerintah. Satu hal yang secara sangat menonjol membedakan Pemilu 1999 dengan Pemilu-pemilu sebelumnya sejak 1971 adalah Pemilu 1999 ini diikuti oleh banyak sekali peserta. Ini dimungkinkan karena adanya kebebasan untuk mendirikan partai politik. Peserta Pemilu kali ini adalah 48 partai. Ini sudah jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah partai yang ada dan terdaftar di Departemen Kehakiman dan HAM, yakni 141 partai.
Dalam sejarah Indonesia tercatat, bahwa setelah pemerintahan Perdana Menteri Burhanuddin Harahap, pemerintahan Reformasi inilah yang mampu menyelenggarakan pemilu lebih cepat setelah proses alih kekuasaan. Burhanuddin Harahap berhasil menyelenggarakan pemilu hanya sebulan setelah menjadi Perdana Menteri menggantikan Ali Sastroamidjojo, meski persiapan-persiapannya sudah dijalankan juga oleh pemerintahan sebelum-nya. Habibie menyelenggarakan pemilu setelah 13 bulan sejak ia naik ke kekuasaan, meski persoalan yang dihadapi Indonesia bukan hanya krisis politik, tetapi yang lebih parah adalah krisis ekonomi, sosial dan penegakan hukum serta tekanan internasional. Pemilu berikutnya, sekaligus pemilu pertama setelah runtuhnya Orde Baru, yaitu pemilu 1999 dilangsungkan pada tanggal 7 Juni 1999 dibawah pemerintahan Presiden B. J Habibie dan diikuti oleh 48 partai politik. Pemilu 1999 menggunakan sistem proporsional dengan daftar stelsel tertutup dan diikuti oleh 48 partai politik.
4. Hasil Pemilu 1999
Meskipun masa persiapannya tergolong singkat, pelaksanaan pemungutan suara pada Pemilu 1999 ini bisa dilakukan sesuai jadwal, yakni tanggal 7 Juni 1999. Tidak seperti yang diprediksikan dan dikhawatirkan banyak pihak sebelumnya, ternyata Pemilu 1999 bisa terlaksana dengan damai, tanpa ada kekacauan yang berarti. Hanya di beberapa Daerah Tingkat II di Sumatera Utara yang pelaksanaan pemungutan suaranya terpaksa diundur suara satu pekan. Itu pun karena adanya keterlambatan atas datangnya perlengkapan pemungutan suara.
Lembaga Penyelenggara Pemilu
Komisi Pemilihan Umum (KPU)
Komisi Pemilihan Umum, selanjutnya disingkat KPU, adalah lembaga Penyelenggara Pemilu yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri yang bertugas melaksanakan Pemilu.
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu)
Badan Pengawas Pemilu, selanjutnya disingkat Bawaslu, adalah lembaga penyelenggara Pemilu yang bertugas mengawasi penyelenggaraan Pemilu di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP)
Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, selanjutnya disingkat DKPP, adalah lembaga yang bertugas menangani pelanggaran kode etik Penyelenggara Pemilu dan merupakan satu kesatuan fungsi penyelenggaraan Pemilu. DKPP bersifat tetap dan berkedudukan di Ibu Kota Negara. DKPP terdiri dari 7 orang unsur KPU, Bawaslu, DPR, dan dari pemerintah
Sistem Pemilu
Sistem Organis
Sistem Pemilu Organis Dalam sistem organis, rakyat dipandang sebagai sejumlah individu yang hidup bersama-sama dalam beraneka warna persekutuan hidup. Jadi persekuuan-persekutuan itulah yang diutamakan sebagai pengendali hak pilih. Menurut pemilihan organis, partai-partai politik tidak perlu dikembangkan, karena pemilihan diselenggarakan dan dipimpin oleh tiap-tiap persekutuan hidup dalam lingkungan sendiri. Sistem organis Badan perwakilan bersifat Badan Perwakilan kepentingan-kepentingan khusus persekutuan hidup itu. Dalam pengangkatan, maka bagi negara yang menganut dua Badan Perwakilan Rakyat dipilih langsung oleh rakyat, dan Majelis Permusyawratan Rakyat
Sistem Mekanis
Sistem pemilihan mekanis menempatkan rakyat sebagai suatu individu yang sama. Sistem pemilihan ini digunakan oleh aliran liberalisme, sosialisme dan komunisme.Sistem pemilihan mekanis dapat dilaksanakan dengan dua cara, yakni sistem distrik/mayoritas/single member constituencies dan sistem proporsional
Kelebihan dan kelemahan pemilihan umum
Kelebihan pemilihan umum :
1. Sistem ini lebih mendorong ke arah integrasi partai-partai politik karena kursi yang diperebutkan dalam setiap Distrik pemilihan hanya satu. Hal ini akan mendorong partai-partai untuk menyisihkan perbedaan-perbedaan yang ada dan mengadakan kerja sama, sekurang-kurangnya menjelang pemilihan umum, antara lain melalui stembus accoord.
2. Bagi partai besar sistem ini menguntungkan karena melalui distortion effect dapat meraih suara dari pemilih-pemilih lain, sehingga memperoleh kedudukan mayoritas. Dengan demikian partai pemenang sedikit banyak dapat mengendalikan parlemen.
3. Lebih mudah bagi suatu partai untuk mencapai kedudukan mayoritas dalam parlemen, sehingga tidak perlu diadakan koalisi dengan partai lain. Hal ini mendukung stabilitas parlemen.
4. Sistem ini sederhana dan murah untuk diselenggarakan.
Kelemahan pemilihan umum:
1. Sistem ini kurang memperhatikan kepentingan partai-partai kecil dan golongan minoritas, apalagi jika golongan ini terpencar-pencar dalam berbagai distrik.
2. Sistem ini kurang representatif, dalam artian bahwa partai yang calonnya kalah dalam suatu distrik berarti sama saja telah kehilangan pendukungnya. Hal ini berarti bahwa ada sejumlah suara yang tidak diperhitungkan sama sekali, atau bahkan terbuang sia-sia.
3. Sistem distrik dianggap kurang efektif dalam masyarakat yang plural karena terbagi dalam kelompok etnis, religius, dan tribal, sehingga menimbulkan anggapan bahwa suatu kebudayaan nasional yang terpadu secara ideologis dan etnis mungkin merupakan prasyarat bagi suksesnya sistem ini.
4. Ada kemungkinan wakil cenderung untuk lebih memerhatikan kepentingan distrik serta warga distriknya, daripada kepentingan nasional.
Sengketa Hasil Pemilu
Lembaga yang berwenang menyelesaikan sengkata pemilu
Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa: MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang- Undang Dasar, memutus pembubaran partai
Komentar